Selasa, 03 Januari 2017

Pentingnya Cadangan Karbon dalam Mengatasi Dampak Globalisasi

Pentingnya Cadangan Karbon di Hutan Sekunder Kawasan Wana Wisata Rawa Bayu, Banyuwangi

Banyuwangi merupakan salah satu kabupaten di Jawa Timur yang terletak di ujung paling timur Pulau Jawa. Kabupaten ini memiliki sejuta pesona keindahan alamnya, sampai-sampai dijuluki dengan kota “Sun Rise of Java”. Selain itu Banyuwangi juga memiliki kawasan hutan yang masih cukup luas dibanding dengan kota lain di Jawa Timur. Luasnya mencapai 183.396,34 ha atau sekitar 31,72%. Salah satu pesona keindahan kota Sun Rise of Java” ini adalah wana wisata Rawa Bayu. Rawa Bayu dikenal sebagai salah satu wilayah tempat wisata yang dikelilingi oleh agroforestri dan tempatnya berdekatan dengan hutan sekunder yang masih alami, sehingga tempat wisata tersebut masih sangat terasa keasriannya. Keasrian tersebut berdampak positif terhadap keberadaan berbagai spesies makhluk hidup. Sehingga kawasan tersebut memiliki tingkat diversitas yang cukup tinggi, termasuk di dalamnya juga vegetasi di kawasan tersebut.
Struktur vegetasi hutan sekunder di sekitar Rawa Bayu memiliki tingkat diversitas yang tinggi. Hal ini ditemukan pada penelitian kami pada bulan Oktober 2016 yang lalu. Ditemukan berbagai jenis vegetasi tiap habitusnya. Mulai dari tingkat pohon, tiang, pancang, hingga herba. Setelah dianalisis berdasarkan Indeks Diversitas Shannon-Winner (H’) ternyata didapatkan nilai H’ sedang-tinggi. Hal inilah yang membuktikan bahwa diversitas vegetasi di hutan sekunder kawasan wana wisata Rawa Bayu cukup tinggi.
Kawasan tersebut sangat berperan penting dalam penyerapan karbon di daerah sekelilingnya. Karena daerah tersebut juga dikelilingi oleh pemukiman penduduk yang melakukan kegiatan industri kecil seperti perkebunan dan kegiatan rumah sehari-hari yang membutuhkan banyak karbon. Informasi cadangan karbon di berbagai tipe hutan dapat dijadikan dasar penetapan faktor emisi dan faktor serapan gas rumah kaca kehutanan di tingkat nasional maupun sub nasional. Hal tersebut dapat digunakan untuk upaya penurunan emisi karbon. Pemerintah Indonesia telah menjelaskan penurunan emisi karbon akan meningkat 41% dengan bantuan internasional. Namun hal tersebut akan sangat sulit jika tidak menghitung sendiri tingkat emisi karbon tingkat nasional. Ini dapat dilakukan untuk mengatasi dampak mitigasi perubahan iklim.
Berdasarkan perhitungan rumus perhitungan pada tabel 1 dapat diketahui jumlah cadangan karbon hutan sekunder di kawasan wana wisata Rawa Bayu. Berikut adalah tabel perhitungannya.

Tabel 1. Rumus – rumus allometrik untuk menaksir biomassa pohon di hutan berdasarkan zona iklimnya

Hutan Songgon, dekat kawasan wana wisata Rawa Bayu memiliki curah hujan sekitar 3108 mm3/tahun, sehingga daerah tersebut dapat dikategorikan sebagai daerah yang lembab. Sehingga, rumus yang digunakan yaitu rumus kedua pada tabel 1. Kemudian dimasukkan berat jenis pohon sesuai dengan ukuran diameter dan tinggi masing-masing pohon seperti pada tabel 2.
Tabel (2). Estimasi berat jenis kayu melalui diameter kayu dan tinggi tanaman 

            Setelah rumus-rumus tersebut dimasukkan, maka diperoleh jumlah cadangan karbon pada hutan sekunder di kawasan wana wisata Rawa Bayu. Sesuai rumus tersebut, jumlah cadangan karbonnya adalah sebesar 891,90 ton C/ha. Nilai tersebut merupakan jumlah yang tinggi. Hairiah (2011) menjelaskan bahwa lahan yang memiliki kesuburan dan tingkat kealamian yang lebih tinggi akan memiliki jumlah cadangan karbon yang lebih tinggi. Hal tersebut sesuai dengan hasil yang didapatkan pada penelitian. Dapat diartikan bahwa hutan sekunder memiliki tingkat kesuburan dan tingkat kealamian yang tinggi.
Kesuburan dan tingkat kealamian tersebut harusnya tetap dijaga kelestariannya. Kelestarian hutan sekunder akan lebih terjaga jika masyarakat sekitar berperan aktif menjagannya. Oleh karena itu kami juga menganalisis bagaimana peran masyarakat dalam konservasi hutan sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat di sekitar wana wisata Rawa Bayu merupakan masayarakat yang didominasi oleh petani dan buruh tani. Pada hasil survei sosial, sebagaian besar responden sudah memahami konservasi hutan. Hal tersebut dapat terlihat dari banyaknya masyarakat yang menggunakan sistem tanam tumpang sari. Tumpangsari merupakan suatu teknik menanam beberapa jenis tanaman pada lahan dalam waktu yang sama, Penanaman ini dapat dilakukan pada dua atau lebih tana-man yang relatif seumur. Pola tanam tumpangsari secara baik perlu diperhatikan beberapa faktor lingungan yang mempunyai pengaruh di antaranya ketersediaan air, kesuburan tanah, sinar matahari dan hama penyakit. Kopi dan pinus merupakan tanaman yang paling banyak ditanam oleh masyarakat sekitar, selain itu di antara tanaman kopi dan pinus tersebut ditanam juga tanaman lain seperti pisang, cabai, dan sebagainya. Secara tidak langsung hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat sekitar sudah berperan aktif dalam upaya konservasi hutan.

Referensi :

Chave, J., Andalo C, Brown S, Cairns MA, Chambers JQ, Eamus D, Folster H,
Fromard F, Higuchi N, Kira T, Lescure JP, Nelson BW, Ogawa H, Puig H, Riera B and Yamakura T. 2005. Tree allometry and improved estimation of carbon stocks and balance in tropical forests. Oecologia 145:87-99. DOI 10.1007/s00442-005- 0100-x.
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. 2016.GeografiBanyuwangi. http: //
banyuwangikab. go.id. Diakses pada 1 November 2016
Hairiah, K., Andree E., Rika R.S., dan Subekti R. 2011. Pengukuran
CadanganKarbon: dari tingkat lahan ke bentang lahan. Petunjuk praktis. Edisi kedua. Bogor, World Agroforestry Centre, ICRAF SEA Regional Office, University of Brawijaya, Malang, Indonesia xx p


Tidak ada komentar: