Pentingnya
Cadangan Karbon di Hutan Sekunder Kawasan Wana Wisata Rawa Bayu, Banyuwangi
Banyuwangi merupakan salah satu kabupaten di Jawa
Timur yang terletak di ujung paling timur Pulau Jawa. Kabupaten ini memiliki
sejuta pesona keindahan alamnya, sampai-sampai dijuluki dengan kota “Sun Rise of Java”. Selain itu Banyuwangi
juga memiliki kawasan hutan yang masih cukup luas dibanding dengan kota lain di
Jawa Timur. Luasnya mencapai 183.396,34 ha atau sekitar 31,72%. Salah
satu pesona keindahan kota “Sun Rise of Java” ini adalah wana wisata Rawa Bayu. Rawa Bayu
dikenal sebagai salah satu wilayah tempat wisata yang dikelilingi oleh
agroforestri dan tempatnya berdekatan dengan hutan sekunder yang masih alami,
sehingga tempat wisata tersebut masih sangat terasa keasriannya. Keasrian
tersebut berdampak positif terhadap keberadaan berbagai spesies makhluk hidup.
Sehingga kawasan tersebut memiliki tingkat diversitas yang cukup tinggi,
termasuk di dalamnya juga vegetasi di kawasan tersebut.
Struktur vegetasi hutan sekunder di sekitar Rawa Bayu
memiliki tingkat diversitas yang tinggi. Hal ini ditemukan pada penelitian kami
pada bulan Oktober 2016 yang lalu. Ditemukan berbagai jenis vegetasi tiap
habitusnya. Mulai dari tingkat pohon, tiang, pancang, hingga herba. Setelah
dianalisis berdasarkan Indeks Diversitas Shannon-Winner (H’) ternyata
didapatkan nilai H’ sedang-tinggi. Hal inilah yang membuktikan bahwa diversitas
vegetasi di hutan sekunder kawasan wana wisata Rawa Bayu cukup tinggi.
Kawasan tersebut
sangat berperan penting dalam penyerapan karbon di daerah sekelilingnya. Karena
daerah tersebut juga dikelilingi oleh pemukiman penduduk yang melakukan
kegiatan industri kecil seperti perkebunan dan kegiatan rumah sehari-hari yang
membutuhkan banyak karbon. Informasi cadangan karbon di berbagai tipe hutan
dapat dijadikan dasar penetapan faktor emisi dan faktor serapan gas rumah kaca
kehutanan di tingkat nasional maupun sub nasional. Hal tersebut dapat digunakan
untuk upaya penurunan emisi karbon. Pemerintah Indonesia telah menjelaskan
penurunan emisi karbon akan meningkat 41% dengan bantuan internasional. Namun
hal tersebut akan sangat sulit jika tidak menghitung sendiri tingkat emisi
karbon tingkat nasional. Ini dapat dilakukan untuk mengatasi dampak mitigasi
perubahan iklim.
Berdasarkan
perhitungan rumus perhitungan pada tabel 1 dapat diketahui jumlah cadangan
karbon hutan sekunder di kawasan wana wisata Rawa Bayu. Berikut adalah tabel
perhitungannya.
Tabel
1. Rumus – rumus allometrik untuk menaksir biomassa pohon di hutan berdasarkan
zona iklimnya
Hutan Songgon, dekat kawasan wana wisata Rawa Bayu
memiliki curah hujan sekitar 3108 mm3/tahun, sehingga daerah
tersebut dapat dikategorikan sebagai daerah yang lembab. Sehingga, rumus yang
digunakan yaitu rumus kedua pada tabel 1. Kemudian dimasukkan berat jenis pohon
sesuai dengan ukuran diameter dan tinggi masing-masing pohon seperti pada tabel
2.
Tabel
(2). Estimasi berat jenis kayu melalui diameter kayu dan tinggi tanaman
Setelah
rumus-rumus tersebut dimasukkan, maka diperoleh jumlah cadangan karbon pada
hutan sekunder di kawasan wana wisata Rawa Bayu.
Sesuai rumus tersebut, jumlah cadangan karbonnya adalah sebesar 891,90
ton C/ha. Nilai tersebut merupakan jumlah yang tinggi. Hairiah (2011)
menjelaskan bahwa lahan yang memiliki kesuburan dan tingkat kealamian yang
lebih tinggi akan memiliki jumlah cadangan karbon yang lebih tinggi. Hal
tersebut sesuai dengan hasil yang didapatkan pada penelitian. Dapat diartikan
bahwa hutan sekunder memiliki tingkat kesuburan dan tingkat kealamian yang tinggi.
Kesuburan dan
tingkat kealamian tersebut harusnya tetap dijaga kelestariannya. Kelestarian
hutan sekunder akan lebih terjaga jika masyarakat sekitar berperan aktif
menjagannya. Oleh karena itu kami juga menganalisis bagaimana peran masyarakat
dalam konservasi hutan sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat
di sekitar wana wisata Rawa Bayu merupakan masayarakat yang didominasi oleh
petani dan buruh tani. Pada hasil survei sosial, sebagaian besar responden
sudah memahami konservasi hutan. Hal tersebut dapat terlihat dari banyaknya
masyarakat yang menggunakan sistem tanam tumpang sari. Tumpangsari merupakan
suatu teknik menanam beberapa jenis tanaman pada lahan dalam waktu yang sama,
Penanaman ini dapat dilakukan pada dua atau lebih tana-man yang relatif seumur.
Pola tanam tumpangsari secara baik perlu diperhatikan beberapa faktor lingungan
yang mempunyai pengaruh di antaranya ketersediaan air, kesuburan tanah, sinar
matahari dan hama penyakit. Kopi dan pinus merupakan tanaman yang paling banyak
ditanam oleh masyarakat sekitar, selain itu di antara tanaman kopi dan pinus
tersebut ditanam juga tanaman lain seperti pisang, cabai, dan sebagainya.
Secara tidak langsung hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat sekitar sudah
berperan aktif dalam upaya konservasi hutan.
Referensi :
Chave, J., Andalo C, Brown S, Cairns MA, Chambers JQ, Eamus D,
Folster H,
Fromard F, Higuchi N, Kira T,
Lescure JP, Nelson BW, Ogawa H, Puig H, Riera B and Yamakura T. 2005. Tree
allometry and improved estimation of carbon stocks and balance in tropical
forests. Oecologia 145:87-99. DOI 10.1007/s00442-005- 0100-x.
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi.
2016.GeografiBanyuwangi. http: //
banyuwangikab. go.id. Diakses pada
1 November 2016
Hairiah, K., Andree E., Rika R.S., dan Subekti R.
2011. Pengukuran
CadanganKarbon:
dari tingkat lahan ke bentang lahan. Petunjuk praktis. Edisi kedua. Bogor,
World Agroforestry Centre, ICRAF SEA Regional Office, University of Brawijaya, Malang,
Indonesia xx p